1. Ular Terbesar Ditemukan; Lebih Panjang dari Sebuah Bus
Ular terbesar yang pernah hidup (sejauh yang kita ketahui) adalah binatang seperti anaconda besar yang merayap melalui hutan hujan tropis beruap sekitar 60 juta tahun yang lalu.
Fosil ditemukan di timur laut tambang batu bara Kolombia Cerrejon dan menunjukkan bahwa reptil itu setidaknya memiliki panjang 42 kaki (13 meter) dan berat £ 2.500 (1.135 kilogram).
Ular ini akan membunuh mangsanya dengan perlahan - melilit dan meremas mangsanya , sama seperti python modern atau boa. Hanya ular ini adalah dua kali ukuran ular terbesar yg hidup saat ini.
2. Tikus Ukuran Raksasa
Tengkorak tikus raksasa prasejarah seberat satu ton - yang ditampilkan di samping seekor tikus modern.
Dengan ukuran panjang 53 sentimeter (21 inci), tengkorak itu ditemukan di Uruguay oleh seorang pemburu fosil amatir di antara tebing batu di wilayah San José. Analisis yang dikemukakan oleh ahli paleontologi menunjukkan bahwa fosil itu milik seekor spesies seukuran banteng, yang bernama Josephoartigasia monesi.
Tikus raksasa itu tinggal di hutan hujan dataran rendah antara dua dan empat juta tahun yang lalu, yang kemungkinan dengan menggunakan gigi yang sangat besar untuk melindungi diri dari kucing raksasa bertaring tajam, serta burung pemakan daging.
3. Fosil Raksasa "Katak dari Neraka" ditemukan di Madagaskar
Para ilmuwan yang bekerja di Madagaskar menemukan katak terbesar yang pernah hidup.
"Katak setan" adalah sosok hewan yang menakutkan dengan ukuran tinggi 16 inci (41 cm) dan berat sekitar 10 pon (4,5 kilogram).
Paleontolog David Krause dari Universitas Stony Brook di New York dan rekan-rekannya mulai menggali fosil katak berumur 70-juta tahun lebih dari satu dekade sebelumnya.
Evans, penulis utama dari paper penemuan ini secara rinci mengatakan bahwa, Katak setan mungkin juga memiliki temperamen yang sangat agresif "Makhluk ini benar-benar agresif, predator penyergap . Mereka berbentuk bulat dengan mulut besar, dan mereka akan duduk berdiam diri selama berjam-jam dan memakan sesuatu yang melewatinya. "
4. Penguin Raksasa
Penguin seukuran manusia berkeliaran di Amerika Selatan sekitar 35 juta tahun yang lalu, dan mereka tidak perlu es untuk bertahan hidup.
Penelitian oleh paleontolog North Carolina State University Julia Clarke dan rekan-rekannya menemukan dua spesies baru penguin raksasa dari fosil yang ditemukan di Gurun Atacama Peru, mendorong tanggal migrasi penguin untuk daerah khatulistiwa kembali lebih dari 30 juta tahun, ke salah satu periode paling hangat dari 65 juta tahun terakhir.
Makhluk menakutkan setinggi Lima-kaki (1,5 meter) Icadyptes salasi (kanan) hidup sekitar 36 juta tahun yang lalu, sementara Perudyptes devriesi (kiri) hidup sekitar 42 juta tahun yang lalu. Sedangkan gambar yang tengah adalah penguin Peru yang masih hidup saat ini , Spheniscus humbolti.
5. Kalajengking Laut Raksasa, Lebih Besar dari Manusia
Para ilmuwan mengatakan bahwa fosil cakar sepanjang (46 sentimeter) dan lebar 18-inci (gambar bawah) adalah milik dari salah satu hewan terbesar yang pernah hidup di dunia : seekor kalajengking laut dengan ukuran 8.2-kaki (2,5 meter), yang hidup sekitar 390-juta tahun yang disebut Rhenaniae Jaekelopterus.
Para ahli fosil mengatakan "Dengan ukuran sama seperti seekor buaya besar, kalajengking laut 390-juta tahun adalah predator puncak pada masanya, mengiris ikan dan memakan jenisnya sendiri (kanibal) di perairan rawa pantai."
6. Hiu Purba Raksasa dengan Gigitan Terkuat yang Pernah Ada
Hiu ini memiliki gigitan yang paling kuat dari setiap makhluk yang pernah hidup.
"Gigitan nya cukup kuat untuk menghancurkan sebuah mobil dan jauh melampaui kekuatan dari seekor hiu putih yang besar dan bahkan Tyrannosaurus rex."
Diketahui dari sebagian fosil gigi yang ditemukan, Carcharodon Megalodon pertama kali muncul di laut Bumi sekitar 16 juta tahun yang lalu (pada periode Neogen) dan memakan kura-kura raksasa prasejarah dan paus.
"Strategi Megalodon dalam membunuh adalah dengan menggigit ekor dan sirip dari ikan paus yang besar, yang efektif mengambil sistem propulsi mereka," kata pemimpin penelitian Stephen Wroe dari University of New South Wales di Australia.
7. Kangguru Raksasa Prasejarah
Perburuan liar di pulau Tasmania, Australia telah memunahkan beberapa hewan prasejarah, termasuk binatang seperti kanguru dan marsupial prasejarah.
Marsupial tanah seberat 1000-pon (500 kilogram) - Palorchestes azael - adalah beberapa di antara spesies megafauna Tasmania yang mengalami kepunahan oleh karena aktivitas manusia pada lebih dari 40.000 tahun lalu.
Penelitian ini menantang penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa zaman es membunuh makhluk raksasa sebelum manusia tiba di pulau itu.
"Spesies lainnya yang juga termasuk dalam penelitian ini adalah tiga kanguru dengan berat sekitar 220-pound (100 kilogram)" kata anggota tim Tim Flannery dari Universitas Macquarie Australia.
Ada macan tutul marsupial, yang beratnya sekitar 100-220 pounds [50 sampai 100 kilogram].
Jumat, 27 Mei 2011
Tidur Lebih Lama Membuat Anak Lebih Tinggi
Tidur memiliki manfaat yang sangat besar untuk tumbuh kembang seorang bayi. Makin sering bayi tidur, cenderung mengalami pertumbuhan lebih cepat terutama dari segi tinggi badannya.
Bagi orang dewasa, tidur diidentikkan dengan waktu istirahat. Namun, bagi bayi dan anak-anak, tidur adalah saat untuk mengoptimalkan laju tumbuh kembang badan. Karena itu, saat tidur, pertumbuhan fisik anak terpacu. Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal sleep mengungkapkan, lama tidur anak berkait erat dengan pertambahan berat badan, tinggi badan, dan kesehatan fisik bayi.
Daripada mengandalkan ingatan orang tua tentang pola tidur dan pertumbuhan bayi, studi ini mencatat data secara real time jangka waktu tidur bayi yang berusia mulai empat hingga 17 bulan. Pola tidur harian bayi telah dicatat oleh 23 orangtua yang terlibat dalam penelitian dan 5.798 buah rekaman tersebut dianalisis setiap hari.
Penelitian ini melibatkan 14 anak perempuan dan sembilan anak laki-laki, dengan rata-rata berusia 12 hari. Kesemua bayi sehat saat lahir dan bebas dari komplikasi kolik atau kondisi medis lainnya selama tahun pertama mereka.
Sang ibu diminta untuk mencatat secara rinci kapan dan berapa lama waktu tidur dan terbangun sang bayi, serta mencatat apakah mereka masih menyusui, sudah mengonsumsi susu formula, atau keduanya. Selain itu, dipantau juga apakah bayi mereka menunjukkan tanda-tanda penyakit, seperti muntah, demam, diare atau adanya bintik merah pada kulitnya.
Pertumbuhan panjang badan diukur menggunakan teknik peregangan maksimal, yang dilakukan semi-mingguan untuk 18 bayi, setiap hari pada tiga bayi dan mingguan untuk dua bayi. Pemantauan ini berlangsung antara 4-17 bulan secara terus-menerus.hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi memiliki rentetan waktu tidur yang tidak biasa, dengan 24 jam peningkatan durasi selama waktu jeda, dengan rata-rata 4,5 jam sehari selama dua hari.
Penelitian juga menemukan, waktu tidur per hari juga meningkat dalam jadwal yang berselang-seling dari rata-rata tiga kali tidur ekstra per hari selama dua hari.
“ini puncak dalam total durasi tidur dalam sehari dan jumlah waktu tidur yang secara signifikan terkait dengan pertumbuhan terukur yang bergerak cepat dalam panjang tubuh, yang cenderung terjadi dalam waktu 48 jam setelah waktu tidur yang tercatat,” tulis kesimpulan studi tersebut.
Temuan studi yang dilanjutkan dengan analisis lebih dalam menyebutkan, kemungkinan lonjakan pertumbuhan meningkat rata-rata 43 persen untuk setiap waktu tidur tambahan dan 29 persen untuk setiap jam tidur tambahan.
“hasil empiris menunjukkan bahwa lonjakan pertumbuhan tidak hanya terjadi selama tidur, tetapi secara signifikan dipengaruhi oleh tidur,” ujar peneliti utama dr michelle lampl, seorang samuel candler dobbs profesor di departemen antropologi, universitas emory di atlanta, amerika serikat.
“tidur yang lebih lama sesuai dengan pertumbuhan yang lebih besar dalam panjang tubuh (bayi),” tambahnya seperti dikutip laman redorbit. Com.
Selain itu, studi menunjukkan bahwa jenis kelamin bayi membuat perbedaan dalam pola tidur yang berhubungan dengan pertumbuhannya.
“lonjakan pertumbuhan terkait dengan peningkatan durasi lamanya tidur pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan, dan peningkatan jumlah waktu tidur pada anak perempuan dibandingkan dengan laki-laki,” sebut lampl.
Lampl menuturkan, orangtua yang mudah frustrasi dengan bervariasi dan tak terduganya pola tidur bayi dapat terhibur oleh hasil ini. Penyimpangan soal tidur bayi bisa menyedihkan bagi orangtua.
“namun, temuan ini memberikan informasi yang membantu orangtua untuk memahami bayi mereka dan menunjukkan bahwa perilaku tidur yang tidak menentu tampaknya adalah bagian normal dari pertumbuhan,” kata lampl
Bagi orang dewasa, tidur diidentikkan dengan waktu istirahat. Namun, bagi bayi dan anak-anak, tidur adalah saat untuk mengoptimalkan laju tumbuh kembang badan. Karena itu, saat tidur, pertumbuhan fisik anak terpacu. Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal sleep mengungkapkan, lama tidur anak berkait erat dengan pertambahan berat badan, tinggi badan, dan kesehatan fisik bayi.
Daripada mengandalkan ingatan orang tua tentang pola tidur dan pertumbuhan bayi, studi ini mencatat data secara real time jangka waktu tidur bayi yang berusia mulai empat hingga 17 bulan. Pola tidur harian bayi telah dicatat oleh 23 orangtua yang terlibat dalam penelitian dan 5.798 buah rekaman tersebut dianalisis setiap hari.
Penelitian ini melibatkan 14 anak perempuan dan sembilan anak laki-laki, dengan rata-rata berusia 12 hari. Kesemua bayi sehat saat lahir dan bebas dari komplikasi kolik atau kondisi medis lainnya selama tahun pertama mereka.
Sang ibu diminta untuk mencatat secara rinci kapan dan berapa lama waktu tidur dan terbangun sang bayi, serta mencatat apakah mereka masih menyusui, sudah mengonsumsi susu formula, atau keduanya. Selain itu, dipantau juga apakah bayi mereka menunjukkan tanda-tanda penyakit, seperti muntah, demam, diare atau adanya bintik merah pada kulitnya.
Pertumbuhan panjang badan diukur menggunakan teknik peregangan maksimal, yang dilakukan semi-mingguan untuk 18 bayi, setiap hari pada tiga bayi dan mingguan untuk dua bayi. Pemantauan ini berlangsung antara 4-17 bulan secara terus-menerus.hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi memiliki rentetan waktu tidur yang tidak biasa, dengan 24 jam peningkatan durasi selama waktu jeda, dengan rata-rata 4,5 jam sehari selama dua hari.
Penelitian juga menemukan, waktu tidur per hari juga meningkat dalam jadwal yang berselang-seling dari rata-rata tiga kali tidur ekstra per hari selama dua hari.
“ini puncak dalam total durasi tidur dalam sehari dan jumlah waktu tidur yang secara signifikan terkait dengan pertumbuhan terukur yang bergerak cepat dalam panjang tubuh, yang cenderung terjadi dalam waktu 48 jam setelah waktu tidur yang tercatat,” tulis kesimpulan studi tersebut.
Temuan studi yang dilanjutkan dengan analisis lebih dalam menyebutkan, kemungkinan lonjakan pertumbuhan meningkat rata-rata 43 persen untuk setiap waktu tidur tambahan dan 29 persen untuk setiap jam tidur tambahan.
“hasil empiris menunjukkan bahwa lonjakan pertumbuhan tidak hanya terjadi selama tidur, tetapi secara signifikan dipengaruhi oleh tidur,” ujar peneliti utama dr michelle lampl, seorang samuel candler dobbs profesor di departemen antropologi, universitas emory di atlanta, amerika serikat.
“tidur yang lebih lama sesuai dengan pertumbuhan yang lebih besar dalam panjang tubuh (bayi),” tambahnya seperti dikutip laman redorbit. Com.
Selain itu, studi menunjukkan bahwa jenis kelamin bayi membuat perbedaan dalam pola tidur yang berhubungan dengan pertumbuhannya.
“lonjakan pertumbuhan terkait dengan peningkatan durasi lamanya tidur pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan, dan peningkatan jumlah waktu tidur pada anak perempuan dibandingkan dengan laki-laki,” sebut lampl.
Lampl menuturkan, orangtua yang mudah frustrasi dengan bervariasi dan tak terduganya pola tidur bayi dapat terhibur oleh hasil ini. Penyimpangan soal tidur bayi bisa menyedihkan bagi orangtua.
“namun, temuan ini memberikan informasi yang membantu orangtua untuk memahami bayi mereka dan menunjukkan bahwa perilaku tidur yang tidak menentu tampaknya adalah bagian normal dari pertumbuhan,” kata lampl
Sabtu, 21 Mei 2011
Alien Planets Outnumber Stars, Study Says
The study uncovered a whole new class of worlds: Jupiter-like gas giants that have escaped the gravitational bonds of their parent stars and are freely roaming space.
What's more, "our results indicate that such planets are quite common," said study team member David Bennett, an astronomer at Notre Dame University in Indiana.
"There's a good chance that the closest free-floating planet is closer to Earth than the closest star."
Ohio State University astronomer Scott Gaudi added, "It's not surprising that free-floating planets are out there"—they've been predicted by planet-formation theories for years—"it's just how many of them that they're finding."
The findings, detailed in this week's issue of the journal Nature, indicate there are about two free-floating planets per star in our galaxy—and perhaps in other galaxies, too.
Scientists estimate there are about 200 billion stars in the Milky Way, so that means there could be at least 400 billion drifting planets in space. And that's not even counting the planets that orbit stars, or smaller, rocky free-floaters that can't yet be detected.
"These are just the ones that we found," study co-author Bennett said. "If we could see lower-mass planets, then presumably the
number would be even larger."
(Related: "NASA Finds Smallest Earthlike Planet Outside Solar System.")
Planet Discovery Came in a Flash of Light
The team spotted ten runaway planets—with an average mass similar to Jupiter's—using a technique called gravitational microlensing.
Gravitational lensing takes advantage of the fact that large celestial objects such as stars or planets warp the fabric of space-time such that light rays passing nearby are bent.
One effect of this is that a star can appear to brighten temporarily as its light bends around a passing planet—an effect visible only if the planet passes directly in front of the star, as seen from a telescope.
Such planet-star alignments are rare and usually last less than two days.
Using a telescope with a nearly 6-foot (1.8-meter) lens at New Zealand's Mount John University Observatory, astronomers scanned more than a hundred million stars at the center of the Milky Way galaxy for two years in search of such alignments.
The survey found ten brief microlensing events, which the team says are evidence of planets of roughly Jupiter's mass. The precise distance of these planets from Earth is unknown but could range from 1,000 to 20,000 light-years—the distances scanned during the survey—Bennett said.
(Related: "Five New Planets Found; Hotter Than Molten Lava.")
Rogue Planets Could Be Tamed
Each runaway planet is zipping through the galaxy at speeds of more than 450,000 miles an hour (200 kilometers a second). Even at these speeds, the rogue worlds could be corralled into orbit again, under the right conditions.
"A runaway planet can't be caught by a single star. It will have too much energy," Bennett said. But a binary star—two gravitationally locked stars that orbit each other—"could do it, and a star that already has at least one planet," he said.
"However, if a star with planets captures another one, then one of its existing planets must change its orbit, and this could make the system unstable. So, a capture might lead to another ejection."
(Related: "New Planet System Found—May Have Hidden 'Super Earth.'")
New Planets Not Free-Floating After All?
The team said that it can't rule out the possibility that some of the planets are just orbiting their stars at very far distances and that the parent stars just don't show up in the data. But they say previous observations by other groups suggest that Jupiter-mass planets in such distant orbits are rare.
University of Heidelberg astronomer Joachim Wambsganss, who was not involved in the research, said more studies will be needed to confirm that the new planets are indeed drifters.
"Whether they're really freely floating planets or just in really wide orbits is not yet proven, I would say," said Wambsganss, who wrote an accompanying article in Nature about the discovery.
Planets Bullied Out of Orbit?
Ohio State's Gaudi called the results "important and exciting" and said they raise interesting new questions about so-called extrasolar planets, or "exoplanets"—worlds outside our solar system.
For instance, astronomers think free-floating planets can get kicked out of their star systems after being perturbed by the gravity of another passing star or of "bully" planets in the same system.
In the latter scenario, "the biggest bullies kick out the smaller guys," explained Gaudi, who wasn't part of the study.
"In our solar system, Jupiter is the biggest bully," he said. But bigger gas giants have been detected in other star systems, and it's perhaps such "super Jupiters" that sent the newfound rogue planets packing.
Life on the Run?
Just because rogue planets orbit no life-giving star, they're not necessarily lifeless—particularly rocky ones—the University of Heidelberg's Wambsganss said. (See "Earth-Size 'Lone Wolf' Planets May Host Life.")
"If you think about free-floating planets, there's no nearby star that can produce heat and energy ... but even in our solar system, there are [externally frigid worlds] that have hot cores," he said.
"So it's not entirely impossible that free-floating planets have hot cores, cold surfaces, and an intermediate layer, where water could exist in some fluid form. This is only speculation, of course."
Ilmuwan Indonesia Temukan Teknik Reboisasi Baru
Dr. Herry Sutjahjo Utomo, ilmuwan dan peneliti asal Indonesia yang menjadi dosen tetap di Louisiana State University, Amerika Serikat, berhasil mengembangkan teknik baru untuk mengurangi erosi pantai. Ia menggunakan cordgrass (Spartina), tanaman sejenis rumput yang biasa tumbuh di daerah pantai barat Samudera Atlantik, Selatan Eropa, Barat Laut dan Selatan Afrika serta Amerika. Ia memodifikasi tanaman tersebut secara genetik.
Bibit unggul cordgrass tersebut sudah diujicobakan di Marsh Island, teluk Vermilion, yang terletak sekitar 150 km barat daya New Orleans. Berbeda dengan teknik reboisasi yang lazim dipakai, penyebaran bibit cordgrass ini dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang. Tujuan uji coba itu adalah untuk menemukan cara yang lebih murah, mudah, dan cepat untuk menghasilkan vegetasi unggul yang bisa memberikan perlindungan dari ancaman erosi.
Teknik baru ini dianggap sangat cocok untuk mengatasi kerusakan habitat akibat badai yang terjadi hampir setiap tahun. Karena dengan menggunakan pesawat terbang, biaya yang diperlukan untuk melakukan reboisasi bisa ditekan. Waktu yang dibutuhkan untuk menebar bibit pun jauh lebih singkat, hanya 10 detik. Sehingga dalam satu hari ribuan hektar bisa direboisasi.
Daerah rawa-rawa di pantai Louisiana sendiri saat ini terancam abrasi parah. Diperkirakan setiap 38 menit, tanah seluas lapangan sepak bola hilang ditelan laut. Apabila kejadian ini terus berlangsung, 50 tahun yang akan datang Louisiana akan kehilangan 1.295 km persegi (setara dengan seperempat luas pulau Madura) wilayah pantainya.
Dr. Utomo berharap, suatu saat nanti teknik yang dikembangkannya ini dapat pula diterapkan di Indonesia untuk membantu penghijauan kembali hutan tropis di berbagai pulau. (Sumber: Sindo, Padang )
Bibit unggul cordgrass tersebut sudah diujicobakan di Marsh Island, teluk Vermilion, yang terletak sekitar 150 km barat daya New Orleans. Berbeda dengan teknik reboisasi yang lazim dipakai, penyebaran bibit cordgrass ini dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang. Tujuan uji coba itu adalah untuk menemukan cara yang lebih murah, mudah, dan cepat untuk menghasilkan vegetasi unggul yang bisa memberikan perlindungan dari ancaman erosi.
Teknik baru ini dianggap sangat cocok untuk mengatasi kerusakan habitat akibat badai yang terjadi hampir setiap tahun. Karena dengan menggunakan pesawat terbang, biaya yang diperlukan untuk melakukan reboisasi bisa ditekan. Waktu yang dibutuhkan untuk menebar bibit pun jauh lebih singkat, hanya 10 detik. Sehingga dalam satu hari ribuan hektar bisa direboisasi.
Daerah rawa-rawa di pantai Louisiana sendiri saat ini terancam abrasi parah. Diperkirakan setiap 38 menit, tanah seluas lapangan sepak bola hilang ditelan laut. Apabila kejadian ini terus berlangsung, 50 tahun yang akan datang Louisiana akan kehilangan 1.295 km persegi (setara dengan seperempat luas pulau Madura) wilayah pantainya.
Dr. Utomo berharap, suatu saat nanti teknik yang dikembangkannya ini dapat pula diterapkan di Indonesia untuk membantu penghijauan kembali hutan tropis di berbagai pulau. (Sumber: Sindo, Padang )
Langganan:
Postingan (Atom)